Wanita dan Representasi Rasa Malu

 


Oleh: Sufiatun Handayani

Kader HMI Komisariat Iqbal 2020

Berbicara tentang wanita maka berbicara tentang lambang rasa malu itu sendiri. Wanita secara hakikat memang diciptakan sebagai perhiasan dunia dengan keshalihannya. Dan salah satu ciri kesalihahan adalah rasa malu yang begitu tinggi. Rasa malu merupakan mahkota kemuliaan bagi seorang muslimah dan rasa malulah yang akan membuat wanita menjadi seorang yang dihormati dan dimuliakan. Bahkan telah dijelaskan dalam sebuah hadist bahwa rasa malu merupakan identitas akhlaq agama islam, dan tentu saja tak lepas dari kualitas tingkat keimanan seseorang.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah)

Tentu malu memiliki nilai yang begitu tinggi sehingga disebut sebagai identitas akhlaq agama islam. Maka secara tidak langsung hadist ini diartikan bahwa setiap muslim yang baik pasti memiliki rasa malu yang tinggi baik untuk dirinya sendiri, orang lain dan tentu saja kepada penciptanya. Tidak hanya malu dalam berkata, tetapi dalam bersikap dan berbuat.

Kita memang sangat familiar dengan kata “ malu” dan sudah terdoktrin dalam kepala kita bahwa malu adalah rasa sungkan dalam menonjolkan diri dikalangan masyarakat atau khalayak umum. Padahal, definisi rasa malu sendiri tidak segamblang itu, yang kemudian bisa menyebabkan seorang Muslimah terbatas dalam berkarya maupun bekerja. Lalu bagaimana rasa malu yang sebenarnya? Kenapa kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu cabang keimananan yang harus dipenuhi dalam sifat seorang muslim?

Dalam buku yang ditulis oleh Mahmud Al-Mishri berjudul Manajemen Akhlak Salaf Membentuk Akhlak Seroang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadhu', dan Malu, menurut Fadhulullah Al-Jailani malu adalah perubahan yang menyelubungi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia sendiri, malu diartikan dalam tiga keadaan. Yang pertama, malu merupakan merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya) kemudian yang kedua, malu diartikan sebagai rasa segan untuk melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya. Dan yang ketiga, malu adalah rasa kurang senang (rendah, hina, dan sebagainya)

Sedangkan dalam definisi filsafat, Izrd dan hyson menyatakan bahwa malu merujuk pada berbagai perasaan emosi termasuk ketakutan dan minat, ketegangan fikiran serta ketenangan.

Bisa disimpulkan bahwa malu merupakan gabungan berbagai perasaan emosi yang tidak tentram yang dikawal oleh hati meliputi perasaan bimbang, ketegangan, serba salah, rasa rendah diri dan tidak percaya kepada diri sendiri serta bimbang terhadap penilaian negative daripada orang lain.

Dari definisinya saja, kita sudah bisa mengambil pesan dalam berusaha memuncukan rasa malu dalam diri kita sehingga kita tidak cerobah dalam melakukan sesuatu. Dan tentu saja malu merupakan penghalang kita dalam melakukan maksiat. Makanya malu disebut sebagai akhlak islam. Dalam hadist rasulullah : , "Sesungguhnya di antara ucapan kenabian pertama yang didahului umat manusia adalah, 'Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu'." (HR Bukhari). Ini lah yang menjadi nafas agama islam. Orang tidak berbuat maksiat karena memiliki rasa malu kepada allah dan manusia lainnya.

Tentu rasulullah memberikan tauladan yang sangat jelas tentang rasa malu ini, terkhususkan bagi para wanita muslimah. Tapi semua itu sudah jarang sekali kita temui di zaman yang penuh dengan kecanggihan ini. Wanita yang sudah secara fitrah memang diciptakan untuk menyandang gelar perhiasan dunia dengan rasa malu nya, kini sudah tidak bermakna lagi. Bahkan, perlu dipertanyakan lagi apakah rasa malu itu ada dalam diri wanita walaupun hanya sedikit? Bahkan banyak sekali tingkah laku Wanita yang benar-benar tidak mencerminkan rasa malu sedikit pun. Hal ini tentu sudah terjadi sejak zaman penjajahan dulu dan semakin merajalela pada zaman sekarang. Dengan berbagai peristiwa yang menunjukan lenyapnya rasa malu pada diri Wanita, kita perlu mengetahui factor apa saja yang menyebabkan hal itu terjadi, sehingga kita bisa menghidari dan tentu bisa menjadi pelajaran bagi anak cucu kita nanti.

Factor pertama yang paling mempengaruhi adalah factor keluarga. Keluarga merupakan rumah utama bagi anggota keluarganya. Sikap atau perilaku keluarga merupakan contoh bagi anak-anaknya. Maka tak heran jika kita menemui di berbagai social media anak-anak berjoget ria dengan ibunya. Bagaiamana seorang anak memiliki rasa malu jika sejak kecil sudah diajarkan oleh orang tuanya sendiri untuk mengumbar-umbar aurat di sosoial media dan menjadikan hal itu sebuah kebiasaan.

Factor yang kedua adalah kurangnya kualitas keagamaan baik dari dirinya sendiri maupun di lingkungannya. agama merupakan factor paling penting dalam hal berprilaku. Jika seorang memiliki kualitas agama yang baik, maka perilakunya pun pasti terjamin baik. Karne setiap agama tentu saja mengajarkan kebaikan pada pengikut-pengikutnya. Seperti definisi diatas, rasa malu bahkan dibahas dalam segala aspek, baik dari segi agama, pandangan filsafat dan tentunya norma-norma masyarakat yang tertuang dalam peraturan kenegaraan. Agama islam benar-benar menempatkan posisi rasa malu didalam urutan tertinggi dan disebut sebagai 99 cabang iman.

 Factor yang ketiga adalah ketidakberhasilan Pendidikan formal dalam menerapkan norma-norma social yang telah diajarkan. Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan memiliki dua tanggungbjawab besar yaitu pengajaran dan Pendidikan yang artinya tidak hanya mengajarkan teori-teori sains kepada anak didiknya tetapi juga sebagai langkah awal dalam pembentukan karakter anak dalam menerapkan norma-norma social seperti sopan santun, memiliki etika yang baik serta memiliki rasa malu dalam berprilaku. Jika dilihat dari tingkah laku remaja zaman sekarang, sekolah bahkan tidak berperan sedikitpun dalam mengajarakan etika kepada para pendidiknya. Apalagi adanya zaman pandemic yang tidak mengizinkan sekolah tatap muka yang seharusnya sebagai sarana dalam prakter pembentukan kararkter tidak dapat berjalan secara optimal.

Factor yang keempat adalah lingkungan. Ada pepatah mengatakan jika kau berteman dengan tukang pandai besi, maka kau akan bau besi. Jika kau berteman dengan penjual parfum, maka kau akan wangi seperti parfum. Artinya adalah lingkungan memang sangat mempengaruhi habits yang terbentuk dalam kehidupan kita. Karena manusia memang makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan pertolongan orang lain. Jika kita hidup di lingkungan yang baik, bergaul dengan pergaulan yang baik dan tentu saja disupport dengan contoh-contoh dari irang-orang yang lebih tua dengan perilaku baik, tentu saja akan menghasilkan karakter serta habits yang baik dan memiliki rasa malu yang tinggi. Jika mau melakukan sesuatu yang bersifat negative pun akan merasa bersalah karena contoh-contoh yang diberikan merupakan perilaku baik- baik.

Factor terakhir dan paling mempengaruhi karakter adalah teknologi. Banyak kita temukan remaja, tidak bergaul dengan siapapun, hanya berdiam diri dikamar dengan indikasi bahwa dia tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar tetapi tetap berjoget ria di social media karena mereka memiliki akses yang lebih luas yaitu teknologi. Bahkan bisa mencontoh suatu hal trendy dari belahan dunia lain yang bertentangan dengan adat dan norma yang ada di nergara kita ini. Tidak dipungkiri lagi, kebudayaan dunia barat sudah menyatu dalam darah pemuda-pemudi Indonesia. Bahkan sekarang sudah dianggap sebagai suatu hal yang melambangkan kegaulan dalam mengikuti trend-trend tersebut baik dalam segi fashion, cara berbicara, cara makan, dan perilaku-perilaku lain yang tidak sepatutnya dtampilkan dipublik dan ditonton leh jutaan manusia lainya.

Rendahnya rasa malu Wanita memang sudah sejak lama terjadi di Indonesia tetapi dengan berkembang pesatnya teknologi, hal itu semakin mencolok terlihat. Jika tahun 90-an kita hanya menemui biduan dangdut yang berlenggok ria diatas panggung tanpa memperhatikan aurat maupun harga dirinya sebagai perempuan, tapi hari ini hal itu menjadi trendy yang Sebagian orang mengartikannya sebgai suatu hal yang harus diikuti. Jika dulu seorang biduan akan dikecam atau dicampakan oleh masyarakat setempat karena dinilai melakukan ssuatu pekerjaan yang tidak baik, maka hari ini kita mendapati seluruh lapisan masyarakat berlomba-lomba dalam berjoget-joget ria tanpa memperdulikan umur, jenis kelamin bahkan jabatan yang sedang mereka pegang.

Tnetu ini sebagai tamparan keras bagi kita semua selaku kader penjag moral bangsa. Kita tidak bisa diam saja dan membiarkan harga diri Wanita ternodai sebagai lambing rasa malu itu sendiri. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, dan kemungkina besar dapat mempengaruhi perilaku seseorang, bukan berarti kita harus menghindar dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Ini adalah tantangan tersendri bagi kita terutama kaum perempuan dalam menghadapi perubahan era dari generasi millennial menuju generasi z.

Melihat Wanita berjoget ria di berbagai social media seakan sudah menjadi hall umrah yang tidak perlu ditegur atau diingatkan. Padahal jelas sekali larangan dalam al-qur’an mengenai lenggak-lenggok memperlihatkan lekuk badan kepada orang lain. Jika masalah besar seperti itu sudah menjadi habits bagi orang-orang di zaman ini, maka apalah arti hal kecil lainnya seperti suara Wanita adalah aurat, Wanita dilarang mer-make up kecuali untuk suaminya, dan hukum-hukum syara’ lainya.

Dengan berbagai factor yang ada disekeliling kita, kemungkinan terbesarnya adalah kita akan terpengaruh dan kehilangan rasa malu itu sendiri dengan berbuat sesuatu yang sudah tidak mencerminkan harga diri seorang perempuan. Maka kita perlu mengetahui berbagai cara menanggapi hal tersebutdan meminimalisir kemungkinan untuk mengikuti trend tersebut tanpa harus meninggalkan gadget sebagai sarana mengikuti perkembangan zaman.

Salah satu caranya adalah dengan Menyadari bahwa rasa malu merupakan nafas agama islam, dan kita sebagai Muslimah harus senatiasa menjaganya. Rasa malu akan mengendalikan sikap, tutur kata, dan tindakan kita. Rasa malu menjaga perbuatan baik tetap dalam proses yang benar. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu. Barang siapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandung di dalamnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim, dan al-Baghawi).

Dengan menyadari hal ini, tentu kita akan selalu hati-hati dalam melakukan sesuatu sehingga tetap menjaga fitrah sebagai seorang Muslimah yang menjaga harga diri. Karena Rasa malu adalah kekuatan ruhani yang tak terkalahkan oleh nafsu atau kepentingan dunia yang menjurus pada keburukan.

Semoga kitab isa menjadi perempuan-perempuan yang berwibawa dengan terus bisa menjaga malu dalam melakukan apapun. Tidak ada makhluk sempurna di dunia ini, tapi berusaha memperbaiki diri adalah salah satu cara untuk mmenggapai ridho-Nya.


Posting Komentar

0 Komentar