Merebaknya Dukungan terhadap Anis Baswedan untuk Capres 2024, telah menimbulkan berbagai respon baik yg optimis maupun yang pesimis
Mereka yang optimis berpandangan bahwa jika rakyat menghendaki dan ternyata rating Anis cukup tinggi, maka bukan tidak mungkin partai-partai politik akan mencalonkannya.
Bagi mereka yang pesimis, maka akan muncul keraguan dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari Anis tidak punya partai, tidak punya uang, sampai pesimis dengan kultur rakyat Indonesia, khususnya di pedesaan yang pragmatis dan tidak peduli dengan perlunya sosok pemimpin negeri ini.
Berpikir cerdas dan strategis, dengan pertimbangan yang matang, it's ok. Namun Bertidak dan berbuat sesuatu mungkin lebih ok, daripada diam dan merenungi keadaan.
kondisi saat ini memang sudah seperti yang pernah disampaikan M Natsir.
Pertama, adanya Parlemen, sekalipun dipilih langsung oleh rakyat, belum berarti Demokrasi tumbuh. (Yang terjadi justru Demokrasi semakin rusak)
Kedua, adanya Undang Undang, juga belum menjamin kehidupan konstitusional. (Yang terjadi saat ini justru Undang2 dibuat untuk kepentingan oligarki)
Ketiga, adanya Hakim, Jaksa dan polisi, belum menjamin berlakunya Rule of Law. (Yang terjadi saat ini justru perangkat hukum dan penegak hukum tajam ke bawah tumpul ke atas)
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa Demokrasi benar- benarsedang Terpasung. Yang muncul ke permukaan bukan lagi kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi Kemanusiaan Yang Dzalim dan Biadab
Dalam cengkeraman oligarki, yg muncul ke permukaan bukan kesejahteraan rakyat, tetapi kemiskinan rakyat.
Mengapa semua itu terjadi? Karena rakyat Indonesia telah kehilangan marwah perjuangannya, telah kehilangan jatidirinya sebagai manusia.
Dalam kondisi carut marut pemerintahan saat ini, maka secara ekstrim menurut Kwik Kian Gie, harus diamputasi. Jika perlu dengan kudeta. Cara amputasi yang ekstrim dan ampuh adalah dengan Revolusi Sosial, atau paling tidak dengan Revolusi Konstitusional.
Kondisi di atas akan semakin parah, jika kaum terpelajar diam dan merenungi nasib.
Secara khusus, saya sampaikan kepada para mahasiswa, baik yg tegabung dalam organisasi intra maupun ekstra kampus. Jika mahasiswa sebagai agent of change masih tetap diam melihat rusaknya tatanan bernegara saat ini, maka lebih baik pulang kampung dan tinggalkan kampus.
Demikian juga para insan akademis baik yang doktor maupun profesor, yang notabene telah berada pada posisi puncak, tak akan berarti jika tidak mampu membawa perubahan masyarakat.
Kita sudah sangat paham dengan budaya dan aadatul irodah masyarakat Indonesia, khususnya di pelosok pedesaan. Tanpa ada sentuhan dari kaum terpelajar, maka jangan berharap ada perubahan.
Itulah tantangan kita. Diam dan kita akan tergilas sia-sia, atau berbuat sesuatu meski harus menghadapi berbagai rintangan?
oleh : Kahar Mudzakir, KAHMI Komisariat Iqbal Walisongo Semarang
0 Komentar