Oleh: Muhamad Firdaus, Ketua Umum HMI Komisariat Iqbal dan Mahasiswa Akidah Filsafat Islam UIN Walisongo Semarang
Perubahan zaman akan terus terjadi di dunia ini. Dahulu, Nenek moyang kita menggunakan burung merpati, melukis dan bercerita lisan ke lisan untuk bertukar pesan dan menyampaikan informasi. Kemudian, zaman itu sedikit demi sedikit hilang setelah ditemukannya alat cetak. Setelah alat cetak muncul, komunikasi dan penyampaian informasi semakin mudah tersebar. Barulah, setelah itu muncul radio, TV, dan komputer yang dengan semua itu informasi dapat merebak ke seluruh dunia cukup dengan menggerakkan jempol saja.
Perubahan zaman itulah yang menyebabkan pola pikir masyarakat di dalamnya berubah. Penyebaran informasi yang semakin mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja menjadikan informasi yang benar dan salah tercampur aduk menjadi satu dalam media. Mirisnya, ada oknum yang sengaja menyampaikan informasi buruk demi memutar balikkan fakta dan menggiring kesalahan menjadi sebuah kebenaran. Oknum-oknum itu sering disebut “Buzzer.”
Lalu siapakah sebenarnya buzzer itu? Menurut Enda Nasution, seorang pengamat media nasional, buzzer ialah akun-akun di media sosial yang tidak memiliki reputasi untuk dipertaruhkan. Para buzzer menggunakan nama palsu dalam bermain media sosial. Mereka bebas memberikan pendapat, menyerang yang benar, menjelek-jelekkan seseorang, dan menggiring opini publik sesuai keinginannya.
Para buzzer biasanya merupakan kelompok yang saling bekerja sama meramaikan sosial media sesuai keinginan siapa yang membayarnya. Mereka rela melakukan itu karena mereka disetir oleh oknum yang memiliki kepentingan seperti penguasa dan pengusaha. Sifat hanif mereka yang condong pada kebenaran tertutup oleh sogokan yang diberikan. Mereka yang seharusnya memberikan informasi yang benar malah menyebarkannya berita yang kontroversial.
Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan sistem pemerintahan jelas sangat dirugikan dengan adanya para buzzer. Suara rakyat yang berguna untuk mengoreksi para penguasa yang memegang kebijakan menjadi tidak berguna lagi, karena kalah dengan akun-akun anonim yang mengakar kemana-mana. Mereka membela yang seharusnya tidak dibela, dan menutupi kabar yang seharusnya tersebar.
Dalam perpolitikan di Indonesia, buzzer politik sangat berpengaruh dalam membentuk kerangka berpikir masyarakat. Karena saat ini, media sosial menjadi penghubung antara pemerintah dan rakyat. Rakyat tidak mungkin mengetahui lebih dalam tentang keadaan pemerintahan kecuali lewat media sosial. Tapi, bagaimana jika media sosial dikuasai oleh para pemilik kebijakan yang mementingkan dirinya sendiri? Itu yang terjadi saat ini.
Mereka yang berkuasa menggunakan buzzer untuk menyebarkan kebohongan, menutupi kesalahan, memuji secara berlebihan, menghadirkan intuisi bahkan memecah belah kerukunan. Mereka juga melakukan kampanye gelap untuk melambungkan nama baik. Sehingga tertutup semua celah kesalahan. Para politisi juga biasanya menggunakan buzzer yang terbentuk dari sebuah komunitas untuk menepis dan mengangkat isu.
Seorang Pakar politik sekaligus akademisi, Rocky Gerung juga sangat resah menanggapi adanya buzzer politik di Indonesia yang bergerak dibalik akun-akun anonim. Dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi, dia memberikan pemahaman tentang ciri-ciri buzzer. “Pekerjaan buzzer adalah mengulik-ngulik pribadi seseorang, apabila anda mengkritik dan anda memiliki masalah pribadi, maka hati-hati! Para buzzer akan menyerang pribadi anda,” terang Rocky.
Bagi masyarakat awam yang tidak begitu paham tentang politik pasti akan kebingungan dalam memilih dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Mereka diombang-ambingkan dalam mengikuti pendapat yang benar, dan kebanyakan masyarakat lebih memilih meninggalkan pribadi seseorang yang telah dijelek-jelekkan oleh para buzzer meskipun orang tersebut menyampaikan kritikan yang membangun.
Tidak heran jika dalam kanal You Tube kita temui banyak sekali orang yang berbeda pendapat dan saling berdepat mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan cara menjelek-jelekan pribadi atau komunitas. hal inilah yang juga yang menjadikan negri ini tidak maju-maju, karena selalu berkutik pada masalah di dalam negeri yang tidak kunjung usai bahkan terus bermunculan.
Dari sinilah, masyarakat, akademisi, dan pemerintah seharusnya sadar akan kecacatan sistem demokrasi negeri ini. Masyarakat dituntut harus lebih jelih lagi dalam menanggapi permasalah yang ada di sosial media, tidak mudah terprovokasi dan tidak asal menyetujui sebuah pendapat yang simpang siur. Harus ada tabayyun dalam menanggapi isu-isu yang beredar di media sosial.
Sebagai akademisi, mahasiswa seharusnya ikut serta dan terjun dalam memahamkan masyarakat luas, menanggapi segala isu dengan data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan serta menyebarluaskan kebenaran ke sosial media, seperti Instagram, Web atau You Tube yang sekarang menjadi tempat bermunculanya hal-hal provokatif pemecah kerukunan umat. Jangan sampai akun media sosial dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri.
Terakhir, pesan untuk pemerintah yang saat ini memegang kekuasaan, mohon bereskanlah para buzzer! Jangan sampai pemerintah malah memanfaatkannya untuk membodohi masyarakat, mengadu domba dan menjelek-jelekkan pihak yang tidak bersalah. Kalau perlu, akun-akun media sosial seluruh masyarakat didaftarkan dengan dengan NIK dan KK, sehingga tidak ada lagi akun-akun anonim yang dikendalikan para buzzer bayaran untuk merusak sistem demokrasi di negeri ini. Sehingga yang menggunakan media sosial adalah masyarakat asli yang dapat dipertanggung jawabkan tindakannya. Bukan akun-akun kosongan buzzer.
0 Komentar