Salah satu permasalahan
yang harus ditangani oleh Rasulullah sebelum Ia mendapatkan kedudukan sebagai pemegang
tahta kaum muslimin di Madinah adalah beliau dihadapkan pada dua kubu yang sedang
bertikai karena perebutan kekuasaan. Pertikaian yang berlangsung selama puluhan
tahun, hingga semua pemimpin dari masing-masing kubu tewas dalam peperangan. Rasulullah
diminta sebagai juru damai diantara keduannya. Hal ini dikarenakan, Rasulullah dikenal
sebagai Al-Amin, juga kabar tentang keberhasilannnya menyelesaikan
masalah peletakan hajar aswad kembali pada tempatnya dengan cara yang bijak,
telah tersebar hampir di seluruh Jazirah Arab. Jadi bukanlah hal yang aneh jika
ada yang meminta beliau sebagai mediator.
Sebenarnya, mendamaikan
kedua kubu itu merupakan janji Rasulullah ketika melakukan bay’at dengan dua
belas orang utusan dari keduanya, yakni suku Aus dan Khazraj. Karena itu, langkah
pertama yang di lakukan oleh Rasulullah adalah mengutus Mush’ab bin Umair
sebagai duta dan dia tugaskan untuk mengajarkan agama Islam di sana, khususnya
ayat-ayat Allah.
Pengutusan
Mush’ab ini sebagai jaminan diantara keduanya. Di sisi Rasulullah, Mush’ab
menjadi penentu kepercayaannya kepada masyarakat Madinah, jika Mush’ab
baik-baik saja, maka benarlah bahwa masyarakat Madinah siap menerima kaum
muslimin Makkah untuk tinggal di tempat mereka. Lalu, di sisi para utusan itu,
Mush’ab menjadi jaminan bahwa Rasulullah tidak akan mengingkari komitmennya,
karena tidak mungkin seorang Nabi akan meninggalkan pengikutnya yang setia.
Apalagi pengutusan itu diterima dengan tulus oleh Mush’ab.
Untuk mendamaikan
kedua kubu ini, tidak ada permasalahan yang serius yang dihadapi Muhammad
ketika menanganinya. Sebab, keinginan berdamai merupakan keinginan diantara
keduanya. Mereka bosan dengan pertikaian yang berkepanjangan. Akan tetapi, masing-masing
mereka tetap menjaga gengsinya, sehingga tak ada yang mau memulai kata damai
secara langsung. Oleh karena itu, kedua golongan ingin ada juru damai diantara
mereka, seseorang yang berdiri di tengah-tengah mereka, menengahi mereka yang
bertengkar dalam perang saudara.
Tidak hanya
berhasil mendamaikan dua suku yang bertikai, sesuatu yang begitu besar yang
juga menjadi prestasi Rasulullah ialah berhasil mempersaudarakan dua golongan
yang berbeda negeri, yang belum saling mengenal sebelumnya bahkan tidak memiliki
ikatan darah satu sama lain.
Rasulullah
berhasil menyatukan masyarakat muslim Makkah dengan masyarakat muslim Madinah
dalam ukhuwah islamiyah. Orang-orang yang hijrah atas perintah Rasulullah dari
Makkah disebut Muhajirin. Dan mereka yang menyambut kedatangan kaum Muhajirin
di Madinah disebut Anshar.
Rasulullah
mempersaudarakan mereka dengan cara seorang Muhajirin bersaudara dengan seorang
Anshar. Sebagai contoh, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Saad bin
Rabi’, Salman Al-Farisi dengan Abu Darda,Muawiyyah bin Abi Sufyan dengan
Al-Hattat At-Tamimi, Ja’far bin Abi Thalib dengan Muadz bin Jabbal. Persaudaaraan
semacam ini terjalin diantara 90 orang sehingga membentuk sampai 45
persaudaraan. Riwayat lain menyebutkan ada 50 persaudaraan yang terbentuk
diantara 100 orang. Mereka bersaudara dalam keimanan yang satu, yakni tauhid.
Dua golongan
itu—Muhajirin dan Anshar—secara suka rela dipersaudarakan oleh Rasulullah.
Rasulullah menyatukan mereka dalam akidah yang haq, agar saling tolong
menolong, dan saling mewarisi setelah wafat. Mereka bersaudara melebihi saudara
kandungnya sendiri. Kaum Anshar tak membiarkan kaum Muhajirin mengalami
kesusahan. Mereka akan senantiasa membantu Rasulullah dan kaum Muhajirin.
Sampai-sampai pengorbanan kamu Anshar ini diabadikan oleh Allah dalam surah Al-Hasyr
ayat 9.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ
قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ
حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ
خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
Metode yang diterapkan oleh Rasulullah untuk mempersaudarakan
antara Muhajirin dan Ansar merupakan bukti nyata tentang integritas pembinaan dalam
Islam. Muhajirin adalah kaum yang meninggalkan sebagian harta dan tanah mereka
demi jalan Allah. Mereka datang ke Madinah tanpa memiliki persediaan yang
mencukupi untuk bermukim di sana, terlebih lagi mereka harus beradaptasi dengan
kehidupan Madinah yang memilki ciri khas bertani sebagai mata pencaharian, sedang
mereka adalah orang yang mencari penghidupan melalui perdagangan. Oleh karena
itu, ketika Abdurrahman bin Auf hendak diberikan harta dan istri oleh Saad bin
Rabi’, Abdurrahman memilih untuk mencari pasar dan berdagang di sana. Alhasil,
kebutuhannya tercukupi karena kepiawaiannya berjualan, dan dia tidak
membutuhkan bantuan dari Saad.
Sementara itu, Ansar merupakan orang-orang kaya dengan produktivitas
tanaman, harta dan industri mereka. Karenanya, kaum Ansar merasa perlu
menanggung saudaranya. Bersinergi dengannya, selalu bersama dalam kesenangan
dan kesusahan hidup. Mereka juga siap berbagi tempat dengan saudaranya selama
tempat tinggalnya lapang untuk mereka berdua. Mereka siap berbagi harta selagi
tidak membutuhkan dan serba cukup.
Adakah
persaudaraan di era sekarang yang menyamai persaudaraan semacam ini? Wallahu
a’lam bi ash-shawab.
Oleh: Fajri Rafly, Departemen Kepemudaan HMI Komisariat
Iqbal
0 Komentar