Di tengah gempuran globalisasi yang cukup massif menghegemoni setiap lini kehidupan, dunia pendidikan dihadapkan dengan lusinan persoalan serius. Mulai dari dampak destruktif sosial media yang-tanpa menafikan sisi positifnya-semakin mengkhawatirkan, kesenjangan akses antar lembaga pendidikan, dan berbagai persoalan lainnya. Padahal Indonesia yang konon akan menghadapi yang namanya bonus demografi bisa dikatakan bergantung penuh terhadap lembaga pendidikan sebagai tempat menampung dan mempersiapkan orang-orang yang nantinya akan menjalankan dinamika negeri ini.
Berbicara mengenai Pendidikan dan pembaharuan, pesantren tak ayal mendapat sorotan. Pesantren dengan kebersahajan-nya senantiasa dijejali pertanyaan mengenai kesanggupan dan kesiapannya menghadapi tantangan masa depan. Mampukah santri, khususnya, beradaptasi dengan pergerakan dunia yang semakin cepat? Mampukah ilmu-ilmu yang diajarkan di Pesantren menghasilkan lulisan-lulusan yang bisa menjawab persoalan-persoalan di masyarakat? Tentu tidak baik langsung menghukumi anak pesantren terlalu kolot untuk berhadapan dengan perubahan global. Perasaan sentiment seperti itu hanya akan menimbulkan perspektif subjektif yang tak mendasar. Pada momen peringatan Hari Santri ini, penulis sebagai salah satu orang yang masih percaya bahwa tahun-tahun yang yang penulis habiskan di Pesantren adalah tahun-tahun yang tepat untuk mengisi masa muda akan mencoba untuk menjabarkan permasalahan ini.
Dunia kini telah menghadapi era baru. Instrumen yang ada di dalamnya sedemikian rupa dituntut untuk mengikuti arus perubahan yang ada. Modernisme yang mempunyai ciri terlalu mengagungkan rasionalisme dan logosentrisme dianggap gagal mengangkat derajat manusia dan menciptakan tatanan dunia yang ideal karea modernisme adalah awal mula dari merebaknya kapitalisme dan imperialisme. Digagaslah Postmodenisme untuk merevisi menciptakan tatanan baru yang mempunyai ciri inklusifitas, relativisme, dan nihilisme. Dunia seluas dan semajemuk ini dianggap sebagai ‘dusun global’ yang tidak terhalang oleh batas geografis. Meskipun tentu saja kesanggupan postmodernimse masih sangat terbuka untuk kritik dan pertanyaan.
Di sini lagi-lagi Pesantren mendapat cabaran. Dunia yang semakin tak terbatas, akses yang semakin luas, apakah bisa dimanfaatkan oleh santri? Tentu kita tak asing dengan pikiran stereotip tentang inferioritas santri khususnya dalam bidang teknologi dibanding dengan anak-anak dari sekolah lain. Bagaimana tidak? Gadget yang bagi anak sekolah umum adalah barang wajib justru dilarang di pesantren. Akses yang dimiliki santri tidak seluas yang bisa diraih anak-anak seusianya yang tidak mondok. Tapi apakah hal itu selamanya menjadi kendala?
Nyatanya, salah satu dampak negatif dari bebasnya informasi yang berkeliaran via internet adalah matinya kepakaran. Orisinalitas keilmuan merupakan sesuatu yang langka dewasa ini. Akibatnya sulit ditemukan kredibilitas kelimuan yang memadai. Akibat gadget, budaya baca semakin langka karena informasi bisa dengan mudah diserap bahan tanpa perlu membaca, cukup menonton video singkat. Hal inilah yang disebut nishful ‘ilm, semi berilmu, orang yang berilmu tapi setengah-setengah, yang oleh Syakib Arselan lebih berbahaya ketimbang tidak berilmu sama sekali.
Sementara santri, dengan tanda kutip kalau diurus dengan benar, akan terhindar dari keadaan itu. Santri yang tidak memegang gadget bisa meningkatkan minat literasinya asalkan didukung dan dimotivasi oleh pihak pesantren. Tapi yang miris, masih ada pesantren yang membatasi bacaan santri. padahal kalau saja akses terhadap bacaan-bacaan berkualitas tersedia di pesantren, mungkin pesantren bisa jadi pioner kelimuan.
Pembahasan mengenai santri dan kemajuan tentu tak bisa rampung hanya lewat tulisan sependek ini. Masih banyak aspek yang perlu dieksplor dan dibahas. Tapi setidaknya inilah yang mampu penulis sampaikan disini. Syahdan, tanggung jawab dan tantangan di masa depan adalah PR bersama. Santri tentu punya keterbatasan yang hanya bisa dilampaui oleh anak-anak dari sekolah lain. Tapi setidaknya santri harus berperan dalam ranahnya dan jangan hanya menjadi penonton yang menyaksikan kemajuan orang lain dan menikmati kekurangan yang padahal bisa diperbaiki.
Oleh : Syaiful Reza H, Sekretaris Umum HMI Komisariat Iqbal
0 Komentar