Amplop Kiai dan Bobroknya Moral Da'i

 


Oleh: Muhammad Nabil Muallif*

Minggu, 4 September lalu, Suharso Monoarfa resmi diberhentikan dari jabatan Ketua Umum Partai Pesatuan Pembangunan (PPP) dalam forum musyawarah kerja nasional (mukernas). Pemakzulan Suharso bermula dari pernyataannya terkait “amplop kiai” dalam acara Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas di Gedung KPK pada 15 Agustus 2022. Pernyataan tersebut dinilai sebagai penghinaan terhadap para kiai dan dunia pesantren, sehingga membuat marah mereka (para kiai) yang selama ini menjadi pendukung setia partai yang didirikan oleh KH. Maimoen Zubair ini. Dan secara tidak langsung, pernyataan yang dikeluarkan oleh Suharso membuat masyarakat Indonesia bertanya-tanya. Ada apa dengan pernyataan Suharso tentang amplop kiai, yang menyebabkan para kiai marah dengan pernyataan tersebut?

Membongkar Borok Kiai

Kemarahan para kiai terhadap pernyataan yang dilontarkan Suharso disebabkan oleh pernyataan tersebut mengganggu kepentingan mereka. Pernyataan Suharso sama saja membuka borok para kiai, yang selama ini mereka tutupi dengan keteladanan yang mereka contohkan di depan umat. Jikalau memang “amplop kiai” bukanlah sebuah persoalan, lantas mengapa harus ada kalangan yang marah dan meradang dengan pernyataan Suharso. Sebenarnya, ada apa dengan “amplop kiai”?

Tradisi amplop kiai memang sudah menjadi fenomena yang lumrah di dunia pesantren. Amplop atau yang biasa disebut bisyarah, biasanya diberikan kepada seorang kiai saat setelah mengisi pengajian atau saat wali santri berkunjung kepada seorang kiai (sowan). Amplop yang diberikan itu sebagai bentuk penghormatan kepada seorang kiai, bahkan sudah dianggap menjadi bagian dari salah satu adab kepada seorang kiai. Karena itu, jika tradisi tersebut tidak dilanggengkan, maka akan dianggap sebagai orang yang suul adab kepada seorang kiai.

Memang banyak masyarakat yang menganggap tradisi amplop kiai sebagai bentuk penyejahteraan kepada kiai. Seperti yang dikatakan oleh Gus Miftah bahwa pemberian amplop kepada kiai itu sebagai rasa mahabah seorang santri kepada kiainya. Memang, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun faktanya, santri yang memberikan amplop justru termasuk ke dalam golongan kelas bawah secara ekonomi atau tidak sejahtera. Sebaliknya, kiai yang menerima amplop berada di kategori ekonomi kelas atas, bahkan gaya hidup mereka sangat bermewah-mewahan. Lantas, mahabah seperti apa jikalau akhirnya adalah menindas golongan yang secara ekonomi berada di kelas bawah.

Parahnya lagi, jika ada seorang kiai yang memanfaatkan ladang dakwah sebagai sarana untuk mencari penghidupan. Legitimasi yang harusnya dimanfaatkan untuk memudahkan kegiatan dakwah, malah disalahgunakan untuk memasang tarif bisyarah atau amplop ketika diundang menjadi seorang penceramah dalam acara keagamaan. Semakin tinggi popularitasnya, semakin tinggi pula bayarannya. Tanpa bayaran, belum tentu seorang kiai mau memenuhi undangannya.

Kiai Sudah Pasti Baik?

Fenomena bobroknya moral elite agama bukan lagi menjadi barang baru. Fenomena tersebut sesungguhnya sudah ada sejak dahulu dan telah disinggung juga oleh al-Qur’any> bahwa sesungguhnya kebanyakan dari elite-elite agama sungguh mereka telah memakan harta-harta manusia dengan cara yang batil dan mereka pula menghalang-halangi manusia dari jalan kebenaran. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah menyembunyikan kebenaran yang harusnya mereka sampaikan kepada umatnya. Di antara motifnya ialah karena takut kehilangan pengaruh, kekayaan, atau pun kekuasaan, apabila kebenaran tersebut disampaikan.

Maka, tak heran apabila Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ulama ke dalam dua kategori. ada ulama al-akhiroh dan ada pula ulama as-su’u. Ulama al-akhiroh ialah ulama yang layak diberi gelar dengan sebutan “ulama sejati”. Mereka adalah orang-orang ‘alim yang mengajarkan kebenaran kepada umatnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu memberikan petunjuk ke jalan kebenaran kepada umatnya, tanpa meminta imbalan dari apa yang mereka ajarkan. Sebaliknya, ulama as-su’u ialah mereka yang menjadikan agama sebagai barang dagangan. Mereka menjual agama Allah denga harga yang murah, menyembunyikan kebenaran dengan motif kepentingan. Orientasi mereka bukanlah mengharapkan ridha Allah, melainkan hanya sebatas keuntungan duniawi yang sesaat.

Statemen yang dilontarkan oleh Suharso memberikan sebuah pelajaran berharga kepada masyarakat luas bahwa seorang pemuka agama belum tentu dia adalah seorang yang baik moralnya. Mereka yang dihormati karena kesolehannya di depan umat, belum tentu benar-benar menjadi orang yang soleh saat berada di belakang umat. Mereka bukanlah orang yang selalu benar. Mereka hanya manusia biasa yang tidak pernah luput dari dosa dan kesalahan.

Meminta uang atau bahkan memasang tarif saat berdakwah itulah hal yang tidak bisa dibenarkan, karena bertentangan dengan etika moral seorang da’i. Sejatinya, seorang da’i tidak menerima imbalan apapun dari kegiatan dakwahnya, apalagi imbalan tersebut berasal dari umat yang secara ekonomi berada di bawah kelasnya. Idealnya, seorang da’i perlu meniru Nabi Nuh A.S. yang tidak meminta imbalan apapun dari kaumnya, karena balasan yang sesungguhnya adalah dari Allah Swt. Wallahu a’lam bi al-showab.

*Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Iqbal Walisongo

Posting Komentar

0 Komentar