Membandingkan Diri: Kebiasaan yang Harus Dilakukan atau Ditinggalkan





Oleh: Ana Alfiana, Kader HMI Komisariat Iqbal 

Membandingkan diri atau social comparison adalah kecenderungan seseorang untuk merasakan hal baik dan buruk dalam dirinya berdasarkan perbandingan dirinya sendiri dengan orang lain. Sayangnya, mayoritas orang stuck dalam situasi ini. Bukannya berbenah diri, mereka malah menjadi tertekan dan frustasi. Mereka terus membandingkan diri dengan orang lain tanpa mau berusaha dan introspeksi diri.

Alasan paling sederhana mengapa mereka terus membandingkan diri dengan orang lain adalah kecenderungan ingin dipandang baik ketika berinteraksi dengan orang lain. Kurangnya rasa syukur atas apa yang sudah diraih dan dicapai selama ini juga membuat mereka sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Namun, banyak orang salah dalam menginterpretasikan membandingkan diri dengan orang lain. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut merupakan suatu hal yang negatif. Padahal membandingkan diri dengan orang lain tidak selamanya bersifat negatif. Karena hal tersebut bisa membantu mengoreksi kekurangan diri dan memotivasi kita untuk menjadi lebih baik. Dengan kata lain, kebiasaan membandingkan diri dapat membuat kita menjadi pribadi yang pandai bersyukur dan menghindarkan kita dari perasaan insecure yang dapat menurunkan kepercayaan diri.

Kebiasaan membandingkan diri dibagi menjadi dua, yaitu downward dan upward. Kebiasaan downward adalah kebiasaan yang terjadi ketika kita membandingkan diri dengan seseorang yang kondisinya lebih “buruk”. Misalnya, ketika berada dalam situasi sulit, maka kita akan ingat bahwa masih banyak orang yang tidak seberuntung diri kita saat ini. Dari situ, kita merasa perlu lebih banyak bersyukur dalam kondisi sulit sekalipun.

Sedangkan kebiasaan upward adalah kebiasaan yang terjadi ketika kita membandingkan diri dengan orang yang kita rasa “lebih baik”. Misalnya, kita membandingkan diri dengan seseorang yang telah hafal al-Qur'an 30 juz dan memiliki penghasilan lebih dari 30 juta perbulan, maka kita akan termotivasi untuk menirunya. Minimal kita harus meniru semangat dan kesungguhannya dalam mencapai usaha.

Sebagai generasi Z yang dikenal sebagai generasi yang ambisius, percaya diri, dan mempertanyakan otoritas, seharusnya kita dapat menghadapinya dengan bijak. Seandainya kita mau belajar untuk memahami apa yang Allah maksudkan di dalam Al-Qur'an, maka kita akan merasa lebih mudah dalam menjalani hidup ini. Salah satunya firman Allah di dalam Surat Al-Kahfi ayat 24:

ĜıَĜ³ٰىٓ Ĝ£َنْ يَهْĜŻِيَنِ ĜħَĜ¨ِّى لِĜ£َقْĜħَĜ¨َ مِنْ هٰĜ°َĜ§ ĜħَĜ´َĜŻًĜ§

 “..semoga Tuhanku memberi petunjuk sehingga kita bisa lebih dekat kepada-Nya.”

Ini artinya, Allah tidak menuntut kita agar memiliki pencapaian yang sama dengan orang lain. Karena setiap orang memiliki jalan masing-masing untuk mencapai kesuksesan. Namun kesalahan yang sering kita lakukan adalah kita seringkali membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Si A setiap hari pergi ke masjid, si B selalu solat malam, si C selalu menghafal sekian juz. Sedangkan aku subuh tepat waktu saja tidak bisa. Hal-hal seperti itu semakin membuat diri kita merasa minder dan menjadi tidak semangat.

Padahal bukan seperti itu yang Allah maksudkan. Yang Allah inginkan adalah supaya kita lebih dekat kepada-Nya. Bagaimana diri ini agar selalu berproses menjadi lebih baik. Tidak apa-apa menghafal juz ke-30, meski adik kita sudah hafal lima juz. Tidak apa-apa mendengarkan lima menit tausiah di radio mobil, sementara teman-teman kita sudah menjadi pembicara tarawih.

Allah itu lembut kepada kita. Ia tidak menuntut kita untuk membandingkan diri kita dengan capaian orang lain. Allah hanya menuntut kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik tanpa pernah merasa sudah menjadi terbaik. Allah juga tidak pernah menghakimi kita sebagai orang yang terlalu terlambat dalam berposes menuju kebaikan. Wallahu a'lam bi al-shawab

Posting Komentar

0 Komentar