Korupsi, Religiusitas, dan Mistis Mitologis


Dalam sebuah survei yang bertajuk “The Global God Divide”, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara paling religius dengan dengan angka 96 persen. Apabila religiusitas masyarakat Indonesia tadi disandarkan dengan jumlah angka korupsi, Indonesia juga terbilang sangat tinggi. Seolah-olah survei tersebut ingin mengatakan bahwa religiusitas suatu negara tidak menjamin hilangnya perbuatan korupsi, padahal kita tahu bahwa Islam adalah agama yang benar. Dalam agama Islam juga diajarkan bahwa perbuatan korupsi itu jelas-jelas perbuatan yang dilarang, karena mudlarat yang ditimbulkan sangatlah besar. Ironinya, kebenaran ajaran agama Islam yang idealnya mampu menjauhkan umat Islam dari perbuatan tercela seperti korupsi, yang terjadi malah sebaliknya. Pertanyaannya, apakah  masyarakat Indonesia benar-benar religius dalam pemahaman yang sesungguhnya? Lalu, apakah ajaran agama Islam sudah benar-benar diterapkan di Indonesia?

Islam yang Dipahami Masyarakat Indonesia

Ajaran agama Islam yang dipahami oleh masyarakat Indonesia bisa dikatakan sangat jauh dari kata sempurna. Mayoritas masyarakat Indonesia memahami agama Islam hanya sebatas agama yang mengatur ritual ibadah saja, padahal tidak demikian. Lebih luas dari itu, agama Islam juga mengatur seluruh lini kehidupan. Di dalam buku The Venture of Islam, Marshall Hodgson pernah mengatakan bahwa ajaran Nabi, yakni Islam, pada esensinya bersifat kota (urban) secara radikal. Ini menandakan bahwa Islam tidak mementingkan hubungan manusia kepada Tuhan saja, akan tetapi Islam juga mementingkan urusan manusia antar manusia. Mustahil Islam tersebar hingga seluruh dunia apabila ajaran yang ada di dalamnya hanya sekedar ibadah ritual saja layaknya agama-agama paganisme dahulu.

Tidak hanya itu, Islam sebagai agama satu-satunya yang bersifat amythical dan anti-sacramentalism—agama yang sangat anti pelukisan atau penggambaran obyek-obyek kepercayaan seperti Tuhan, Malaikat, Surga, Neraka, Setan, bahkan para Nabi— dicampuradukkan dengan cara berpikir mistis mitologis ala agama Hindu dan Budha. Saat ini, cara berpikir tersebut masih sangat kental, terutama bagi masyarakat Jawa yang berada di pedesaan. Mereka memiliki anggapan tentang pengobatan, menjadi orang pintar, dan menjadi orang sakti dengan cara-cara yang menyusahkan dan sangat tidak masuk akal, padahal agama Islam sangat memudahkan dan mengajarkan kepada para penganutnya untuk berpikir rasional. Bodohnya, banyak masyarakat Indonesia yang percaya dengan anggapan-anggapan tadi dengan alasan mengikuti jejak para nenek moyangnya. Alasannya serupa dengan alasan kaum Nabi Ibrahim yang diajak berpikir rasional oleh Nabi nya.

قَالُوْا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا لَهَا عٰبِدِيْنَ

Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.”

Gaya Hidup Para Elite Muslim

Beda di desa, beda pula di daerah perkotaan. Meski umat Islam yang berada di kota lebih terlihat rasional, akan tetapi masih banyak di antara mereka yang belum memahami ajaran Islam. Etos kerja mereka memang sangat tinggi, hal itu terbukti dari gaya hidup mereka yang hedonis. Berbeda dengan yang berada di pedesaan, mereka  lebih banyak menjadi korban kesalahpahaman buku Ihya Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali, padahal buku tadi lebih pantas dipahami konteksnya buat orang-orang yang berharta.

Gaya hidup bermewah-mewahan mempunyai konsekuensi buruk buat sejarah peradaban Islam. Sebab, hampir seluruh Imperium Islam tumbang dikarenakan gaya hidup para elite kerajaan yang sangat bermewah-mewahan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَاِ ذَاۤ  اَرَدْنَاۤ  اَنْ  نُّهْلِكَ  قَرْ يَةً  اَمَرْنَا  مُتْرَفِيْهَا  فَفَسَقُوْا  فِيْهَا  فَحَقَّ  عَلَيْهَا  الْقَوْلُ  فَدَمَّرْنٰهَا  تَدْمِيْرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).”

Gaya hidup mewah akan membuat orang semakin tergila-gila dengan harta benda. Dengan begitu, seseorang akan selalu merasa tidak cukup dan akan menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi duniawinya. Maka lahirlah budaya korupsi  dari jiwa-jiwa yang tidak pernah puas dengan ambisi pribadinya.

Begitu pun yang terjadi di Indonesia. Para elite negara yang beragama Islam tidak menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup, sehingga ajaran-ajaran kebenaran yang terkandung di dalam al-Qur’an tidak diketahui atau bahkan mereka mengetahui akan tetapi tidak mau mengamalkan. Oleh karena itu, wajar saja apabila para elite negara melakukan korupsi secara besar-besaran.

Usir Tikus dengan Kayu Naga?

Usir tikus dengan kayu naga merupakan sebuah ungkapan pengandaian. Bagaimana mungkin membasmi korupsi di negara ini dengan menerapkan cara berpikir mistis mitologis yang dipahami sebagai bagian dari ajaran agama Islam? Tentu, tidak mungkin. Sebab, kebenaran ajaran agama Islam merupakan hal yang sudah final. Moralitas manusia menjadi ajaran dasar yang terkandung di dalamnya. Pangkal moralitas manusia ialah ia mampu menahan hawa nafsunya.

Oleh karena itu, umat Islam harus memahami dan mengamalkan ajaran agamanya, karena sesungguhnya apabila tiap-tiap muslim mau memahami dan mengamalkan ajaran agamanya sendiri, niscaya permasalahan korupsi yang ada di negeri ini dapat diatasi. Wallahu a’lam bi as-Shawab.

Oleh: Muhammad Nabil Muallif, Ketua Umum HMI Komisariat Iqbal periode 2022-2023


Posting Komentar

0 Komentar