Pacaran, Sebuah Kewajiban


Pacaran, Sebuah Kewajiban
Oleh:
Muhammad Ismail Lutfi, Ketua HMI Korkom Walisongo Semarang Periode 2018-2019

Dalam Islam istilah pacaran tidak pernah digunakan, paling mentok para ulama mensepakati jika yang ada hanya taaruf atau saling mengenal. Istilah pacaran muncul baru-baru saja. Sependek pengetahuan penulis belum pernah menemukan sejarah munculnya kata pacaran. Hanya saja jika dicari di beberapa website di mesingm pencarian Google awal mula penggunaan kata pacaran yaitu sejak suku melayu yang memiliki tradisi memberikan pacar (jenis tumbuhan yang digunakan untuk menghias kuku) kepada perempuan saat ada laki-laki yang mengirimkan "sinyal" ketertarikan kepada perempuan dengan proses mengirimkan tim pembaca pantun kepada pihak perempuan. Setelah dipakaikan pacar, perempuan tersebut akan dipingit selam 40 hari.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan tahun 2002 pacar adalah kekasih atau lawan jenis yang tetap dan memiliki hubungan saling cinta.
Pada saat tahun-tahun diturunkannya Alquran, istilah pacaran tidak pernah ada. Karena pada saat itu perempuan tidak mempunyai kekuasaan, hanya orang tuanya yang menentukan, dan perempuan tinggal menjalankan. Sehingga istilah ini belum muncul dan secara syariat pun tidak ada kata pacaran. 
Makna pacaran dalam konteks sekarang pun lebih cenderung kepada rasa kasih dan sayang yang lebih condong kepada kemaksiatan. Ini disebabkan istilah pacaran identik dengan tindakan tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Jika ada dua manusia berbeda jenis (laki-laki dan perempuan) yang saling suka sama suka sehingga menimbulkan kenyamanan, dan akhirnya kemana-mana berdua terus disebut pacaran. Jika ada pasangan yang belum ada ikatan pernikahan dan sering jalan bareng, makan bareng, dan belanja bareng maka orang-orang akan menyebutnya sedang pacaran.
Jika di dalam Islam, aktifitas laki-laki dan perempuan yang belum menikah, akan tetapi sudah cukup umur dan dewasa untuk saling timbul rasa cinta dan saling suka dikenal dengan taaruf (saling kenal, atau kenalan). Istilah ini dianggap lebih syar'i dan mengalami penyempitan makna secara praktik di lapangan. Istilah taaruf ini biasanya hanya dilakukan jika ditemani oleh mahram pihak perempuan, atau dilakukan dengan saling kenal menggunakan alat komunikasi yang tidak mengharuskan saling bertemu. Tujuan dari taaruf ini adalah agar keduanya saling mengetahui sifat dan watak seseorang sebelum lanjut ke tahap yang lebih serius, yaitu pelaminan.

Mengapa harus ada demikian? Bisa jadi persoalan seperti ini timbul sebab adanya kasus kasus di masa lalu yang menyebabkan perlu berbenah dalam sistem pernikahan. Karena, jika kita mundur ke masa lalu, masa kakek dan nenek kita, kita bisa mendengarkan cerita bahwa pernikahan pada masa itu dilakukan melalui perjodohan orang tua atau secara mendadak yang tanpa dibarengi kenal terlebih dahulu. Sehingga tidak peduli cinta atau tidak, saling suka atau tidak yang terpenting menikah. Efek yang ditimbulkan dari kasus seperti ini adalah pernikahan yang harusnya menjadi ladang ibadah bisa menjadi tersendat lantaran tidak saling suka, menjalani dengan terpaksa, bahkan rusaknya hubungan yang akhirnya timbul perceraian.
Meski sebenarnya saat ini masih ada, tetapi tidak banyak. Karena rata-rata sudah berpendidikan dan berpengalaman dalam urusan pernikahan. Banyak yang sudah beralih metode dalam proses pra nikah ini, salah satunya dengan metode taarufan ( sementara kita tidak memakai istilah pacaran).
Kebanyakan orang sudah mulai sadar jika rasa cinta tidak biasa dipaksakan, dan tidak selamanya pernikahan harus melalui perjodohan. Karena anak-anak sudah mulai tahu dan memiliki banyak cita-cita dalam menentukan masa depan, sehingga pasangan juga perlu direncanakan.
Taaruf sangat diperlukan untuk bisa saling mengenal satu dengan yang lain, agar dalam menentukan masa depan bisa selaras dan sesuai impian. Lantas bagaimana dengan mereka yang sudah saatnya menikah tapi belum punya  teman untuk diajak taaruf ?.
Tidak bisa dipungkiri jika hal ini terjadi, apalagi pada perempuan yang posisinya lebih sebagai orang yang "menunggu", bukan yang "mencari" pasangan. Saat umur sudah menginjak ke angka 20, perempuan sudah memasuki masa dimana saatnya menikah. Ada banyak rasa khawatir bercampur sedih jika sampai umur tersebut ia tak punya teman laki-laki. Atau setidaknya tidak pernah ada laki-laki yang suka dengannya ( meski tidak diungkapkan ). Perempuan akan cenderung lebih galau jika dalam kondisi demikian, karena perempuan memang tercipta tidak dikaruniai banyak keberanian yang kuat dalam konteks ini.

Berbeda dengan laki-laki pada umur 20 ke atas, ia cenderung tidak memiliki banyak kekhawatiran dalam hal pasangan. Karena ia punya banyak keberanian untuk mengungkapkan sebuah perasaan cinta kepada seseorang  yang ia dambakan. Jika realita demikian, apakah perempuan harus pasrah saja?
Dalam Islam setidaknya ada dua contoh perempuan baik yang memiliki cara unik dalam mempersiapkan pernikahan. Dua orang tersebut adalah Khadijah dan Putri Nabi Syuaib ( pada masa Nabi Musa). Beliau memberikan contoh jika dalam posisi memiliki keinginan untuk merencanakan sebuah pernikahan, tetapi tidak dikaruniai cukup keberanian untuk mengungkapkan maka solusinya dengan membuat tim sukses.
Saat Khadijah menghendaki Nabi Muhammad untuk menjadi pasangan hidup, Ia meminta pembantunya untuk mengatur strategi agar kehendaknya bisa tercapai. Demikian juga dengan Putri Nabi Syuaib, saat ia mempunyai kehendak untuk menjadikan Nabi Musa sebagai pasangan, ia membuat tim sukses agar kehendaknya tercapai, yaitu melalui ayahnya. Pun demikian dengan masa sekarang,  jika dirasa sudah menemukan calon pasangan yang pas, perempuan masa sekarang  bisa meniru cara-cara tersebut untuk memenuhi kehendak hati.

Setidaknya dalam praktik di lapangan, perempuan bisa menjalin komunikasi menggunakan gawai untuk bisa mengenali teman laki-laki yang dirasa cocok untuk menjadi imam. Jika dalam komunikasi sudah merasa pas, tapi belum ada i'itikat dari laki-laki untuk melamar, maka perlu strategi agar mampu mensukseskan misi tersebut. Karena "kepekaan" hanya milik Allah semata, laki-laki hanya diberi setetes kepekaan, itupun dibagi rata kepada laki-laki di seluruh penjuru dunia.
Bagi perempuan, perlu banyak-banyak mencari teman dan mengamati sifat dan wataknya, sehingga jika sudah tiba masanya harus menikah tidak salah menjatuhkan pilihan. Kasus di lapangan banyak perempuan yang belum sadar akan hal ini. Semasa remaja, saat masih panas-panasnya punya rasa cinta, mereka memiliki espektasi untuk memiliki pasangan yang didambakan. Akan tetapi karena tidak diimbangi dengan usaha yang maksimal, tiba saat harus menikah tidak punya bidikan untuk dijadikan calon idaman. Sehingga dengan sangat terpaksa, dan mau tidak mau ia harus mengubur dalam-dalam espektasi yang ia pernah impikan. Karena orang yang datang melamar tidak sesuai dengan "desain". Jika ditolak akan menimbulkan penyesalan, dan jika diterima belum siap dengan kenyataan, sedangkan umur selalu bertambah dan kesempatan semakin berkurang.

Sebagai pemuda dan pemudi yang akan menginjak masa pernikahan, selalu intropeksi diri. Apakah kita menjadi manusia disenangi atau malah dibenci. Kehadiran kita di dunia ini bisa menyejukkan orang lain atau bukan. Jika memang belum, maka segera perbaiki sikap dan kebiasaan. Jangan sampai keburukan-keburukan yang dilakukan menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan. Jangan lupa pula sebagai pemuda dan pemudi muslim untuk selalu berdoa kepada Tuhan, memohonkan ampunan dan jodoh yang disiapkan. Amin



Posting Komentar

0 Komentar