 |
Oleh: Kurnia Intan Nabila* |
Palu terluka, Indonesia
berduka. Tak lama setelah tsunami menghantam dan meluluhlantakkan pulau Lombok,
disusul pula pulau Sulawesi Tengah. Kepedihan yang tak terperikan. Kehendak
alam yang memakan banyak korban dan membuat setiap insan terketuk hatinya untuk
senantiasa berintropeksi diri dan kembali berkaca. Perbuatan yang mana sehingga
Allah murka kepada kita?. Tak jarang, hampir setiap orang berlomba- lomba dalam
mengajak kebaikan dan meninggalkan hal- hal yang dilarang oleh Allah SWT.
Melalui perspektif secara umum, bencana tsunami yang terjadi disebabkan oleh
kedurhakaan dan ketidaktaatan penduduk bumi atas perintah Tuhan. Karena mereka
mengingkari petunjuk yang telah Tuhan turunkan melalui ayat- ayat qouliyah dan
kauniyahNya. Padahal dilihat dari kaca mata ahli bahasa, kata “Musibah” berasal
dari kosa-kata bahasa arab “Ashooba- Yushiibu”
yang berarti sesuatu yang menimpa (timpaan). Banyak orang menyalahartikan kata
musibah dengan konteks yang negatif, namun faktanya tidak demikian. Dalam
keseharian penduduk Jawa, istilah “Ketiban
Rezeki” sudah populer di kalangan mereka. “Ketiban
Rezeki” dalam artian indonesia yaitu tertimpa rezeki. Dari sini
kita mampu mengambil pemahaman bahwa sesutu yang menimpa atau timpaan tidak
selalu didefinisikan dengan hal negatif.
Berbeda disiplin keilmuan, berbeda pula perspektif yang
dikemukakan. Ahli Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika berpendapat bahwa
tsunami yang melanda kota Palu disebabkan adanya longsoran sedimen dasar laut
di kedalaman 200- 300 di bagian Teluk Palu. Sedimen dari sungai- sungai yang
bermuara di Teluk Palu belum terkonsolidasi kuat sehingga runtuh dan longsor
saat gempa dan akhirnya memicu terjadinya tsunami. Karena masalah timbul dari
keadaan alam itu sendiri, maka yang mampu dilakukan adalah dengan memberi
peringatan- peringatan dan penanggulangan semenjak dini.
Baca juga: BMT dan Reformasi Ekonomi Umat
Selain dari 2 perspektif yang sudah dikemukakan, ada yang lebih
menarik lagi. Perspektif dari orang- orang yang masih percaya dengan kekuatan
dewa laut. Mereka yang tinggal di daerah pesisir pantai percaya, sedekah bumi
dan larung sesaji adalah salah satu upaya mereka dalam menangkal kemungkinan-
kemungkinan musibah yang akan terjadi. Larung sesaji sampai detik ini masih
selalu menimbulkan pro kontra antar umat beragama. Adat istiadat berupa menyedekahkan
hasil bumi yang dialirkan di laut faktanya membuat khawatir beberapa umat
muslim sekitar, mereka menolak pemahaman bahwa sedekah bumi dan larung sesaji
mampu menjadi penyebab suatu bencana terjadi. Kemaksiatan dan kemunkaran secara
berjamaah lah yang mampu mendatangkan bencana lebih cepat dari yang
terpikirkan.
Upaya
masyarakat dalam mengajak kebajikan tak pernah surut. Semangat Amar Ma’ruf Nahi
Munkar selalu terpacu dalam dada. Seperti yang dilakukan oleh sebagian
organisasi masyarakat di daerah Cilacap. Berbagai pamflet berbasis dakwah
dicetak kemudian disebar di seantero kota dengan niat memperingatkan masyarakat
agar jangan sampai memicu musibah serupa terjadi. Mulai dari kalimat “Jangan
Larung Sesaji Karena Bisa Tsunami”, “Rika Sing Gawe Doso, Aku Melu Cilaka”,
“Buat Program Wisata Yang Allah Tidak Murka ” dan masih banyak kalimat yang
berbeda namun bersubstansi serupa. Dakwah dengan perbuatan adalah tingkatan
dakwah paling tertinggi. Namun, ketika tangan kita tak mampu mengubahnya, maka
Nabi Muhammad SAW dalam sabdanyapun pernah menyebutkan bahwa selemah lemah iman
adalah berdakwah dengan menggunakan hati, maksudnya dengan berdoa agar jangan
sampai anak cucu kita termasuk dari golongan orang- orang yang ingkar. Wallahu A’lamu bi Ash Shawwab.
* Mahasiswi Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang dan aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam
0 Komentar