Oleh: Atikah Nur Azzah*
Viral video anggota Barisan Ansor
Serbaguna (Banser) membakar bendera hitam, bertuliskan kalimat tauhid yang
berbahasa Arab. Insiden itu terjadi saat peringatan Hari Santri Nasional di
Kecamatan Limbangan, Garut, diakui oleh Ketua GP Ansor Jabar, Deni Haedar.
(Tribun-Medan dan Tribun Jabar).
Pembakaran bendera bertuliskan
Kalimat Tauhid mengundang berbagai kontroversi dalam masyarakat, terkhusus umat
Islam. Kejadian tersebut dipahami oleh umat dan bangsa secara tekstual dan
kontekstual.
Pemaknaan secara tekstual dipahami
bahwa, tindakan tersebut hanyalah pembakaran bendera biasa, tidak memandang apa
yang tertulis pada bendera, yaitu kalimat tauhid yang dianggap sakral oleh umat
Islam.Bahkan, menurut oknum pembakaran, bendera itu adalah atribut Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang dilarang oleh pemerintah Indonesia.
Pelarangan ormas ini sesuai dengan
ketetapan presiden Joko Widodo dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat.
Perppu itu dikenal sebagai Perppu
‘pembubaran ormas’, karena disusun setelah pemerintah mengumumkan sikapnya
untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Perppu dibuat untuk
merevisi UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
Adapun pihak yang memahami pembakaran
bendera tersebut secara tekstual seperti Deni Haedar, menurutnya, kondisi bendera
tersebut akan lebih berbahaya lagi apabila nanti tercecer dan terinjak-injak,
sehingga dilakukanlah pembakaran. Namun, cara dan tempat untuk membakar bendera
yang bertuliskan kalimat Laa Ilaaha Illa Allah Muhammadu Rasulullahi itu
kurang tepat. Sehingga, Peristiwa itu menuai berbagai kontroversi dari beberapa
pihak.
Ada juga pihak yang mengartikan
pembakaran secara kontekstual seperti menurut Ketua Badan Komunikasi Pemuda
Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Jeneponto, Suhardi A Kahar, insiden itu telah
melukai perasaan umat Muslim, dan dapat memicu munculnya kerawanan sosial di
tengah-tengah masyarakat. (Tribun.Jeneponto).
Manusia bisa memahami segala sesuatu
dengan simbol-simbol, termasuk mengenal teologi. Pada hakikatnya, kalimat
tauhid dianggap sebagai simbol yang istimewa bagi umat Islam. Sebab, setiap
orang yang masuk Islam, pasti ia akan membaca kalimat persaksian. Kalimat
tauhid yang berbunyi Laa Ilaaha Illa Allahu Muhammadu Rasul
Allahi adalah bagian dari dua kalimat syahadat (Asyhadu An Laa
Ilaaha Illa Allahu Wa Asyhadu Anna Muhammadu Rasul Allahi).
Apabila seseorang telah mengucapkan
kalimat tersebut, maka ia dinyatakan resmi masuk agama Islam.
Adapun kedahsyatan kalimat Laa
Ilaaha Illa Allahu, yaitu termaktub dalam hadis riwayat An-Nasa’i, Abu Said
Al-khudri r.a. berkata: Nabi Saw. bersabda: Nabi Musa a.s. berdo’a: “Ya Rabbi,
ajarkan padaku sesuatu untuk berdzikir pada-Mu.” Jawab Allah: “Bacalah Laa
Ilaaha Illa Allahu.” Musa berkata : “Ya Rabbi semua orang membaca itu,
dan aku ingin yang istimewa untukku.” Jawab Allah : “Hai Musa, andaikata tujuh
lapisan langit dan penghuninya dan tujuh lapisan bumi diletakkan disebelah
timbangan Laa Ilaaha Illa Allahu, niscaya akan lebih berat
kalimat Laa Ilaaha Illa Allahu melebihi dari semua itu.”
Setiap orang Islam pasti
mendambakan Laa Ilaaha Illa Allahu Muhammadu Rasul Allahi adalah
kalimat terakhir yang terucap sebelum ruh benar-benar keluar dari
jasadnya.
Wajar saja apabila ada umat Islam yang
fanatik dengan simbol-simbol Islam, asal jangan fanatik yang berlebihan,
sehingga bisa menyebabkan mudharat yang lebih besar. Apalagi ketika ia mudah
terpancing dengan provokator yang ingin umat ini terpecah belah, maka semakin
mudah provokator itu mengacaukan kedamaian dan persatuan umat.
Kejadian ini perlu ditanggapi dengan
kepala dingin, diselesaikan tanpa emosi yang bergejolak. Sebab, apabila umat
Islam terpancing dengan kejadian seperti ini, umat bisa terpecah belah,
kemudian terjadi permusuhan di internal.
* Wasekum PTKP HMI Komisariat Iqbal dan Mahasiswi UIN Walisongo Semarang
Sumber:
www.harakatuna.com
0 Komentar