Ironi Negeri Tempe

Tempe adalah makanan yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Makanan yang berbahan baku kedelai ini, merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia, selalu menjadi menu favorite dalam memenuhi kebutuhan biologis masyarakat Indonesia.
Menurut riset Departemen Kesehatan (sekarang kementerian Kesehatan) pada tahunn 1991, tentang kandungan gizi di dalam tempe, tempe mengandung Energi 201 kal, Protein 20,8 gram, Lemak 8,8 gram, Hidrat arang 13,5 gram, Serat 1,4 gram, Abu 1,6 gram, Kalsium 155 mg, Fosfor 326 mg, Besi 4 mg, Karotin 34 mkg, Vitamin B1 0,19 mg, dan Air 55,3 gram.
Maka tak heran jika banyak orang-orang Eropa hingga Asia sangat tertarik dengan makanan yang berbahan baku kedelai ini. Sering kali tempe dijadikan sebagai pengganti makanan pokok, daging, misalnya. Maka sudah sepatutnya bangsa Indonesia bangga dengan adanya makanan itu.
Namun, miris rasanya ketika Negara produsen tempe terbesar mengalami kekurangan bahan baku untuk pembuatan tempe. Hingga Negara pun harus mengimpor dari Negara lain untuk menutupi angka kekurangan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, hingga April 2018, Pemerintah telah mengimpor kedelai sebanyak 532.000 ton. Angka yang sangat fantastis.
Kejadian ini tidak hanya terjadi di tahun 2018. Setiap tahun selalu terjadi peningkatan nilai impor kedelai. Mengutip Jurnal Statistik Komoditas Pertanian tahun 2014, nilai importasi kedelai sepanjang periode 2001-2004 secara kumulatif mencapai 2,87 miliar US$ dengan volume 11,10 juta ton, pada periode tahun 2005-2009 mencapai 3,49 miliar US$ dengan volume 10,25 juta ton dan pada periode tahun 2010- 2013 mencapai 4,63 miliar US$ dengan volume 7,84 juta ton. Sehingga dapat diketahui bahwa nilai impor kedelai paling besar pada periode tahun 2010-2013. Sementara tingkat pertumbuhan impor kedelai paling tinggi berada pada periode tahun 2010-2013 mencapai 16,57%.
Angka peningkatan impor kedelai di Indonesia, sungguh sangat mengkhawatirkan. Mengingat Indonesia adalah Negara berbasis agraris. Indonesia juga penah mengukir prestasi atas swasembada pangan pada tahun 1983. Maka perlu adanya penangan khusus dari Pemerintah tentang perihal ini.
Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, juga pernah berjanji pada kampanyenya di tahun 2014, ingin mengembangkan swasembada pangan. Namun, sampai saat ini, belum ada hasil yang memuaskan.
Upaya-upaya konkret harus segera dilaksanakan, dengan membuat kebijakan yang tepat, pelatihan-pelatihan bertani modern, dan menjadikan swasembada sebagai fokus utama pemerintah. Jika swasembada ini berhasil, maka rakyat akan merasakan kesejahteraaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar