Oleh: Alwi Husein Al-Habib*
Pertengahan tahun 2019 tepatnya pada tanggal 17 april, akan diadakan pemilu serentak pertama di Indonesia. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu 2019 nanti tidak hanya memilih Presiden dan Wakil Presiden, namun juga memilih Anggota Legislatif lainnya, seperti DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Pemilu mendatang adalah pemilu secara langsung. Hal tersebut nampaknya menjadi tantangan untuk makin cerdas dan rasional berdemokrasi. Selain menguras biaya, terjadinya money politic juga memang sulit untuk dihindari.
Biaya yang mahal adalah sebuah kewajaran dalam pemilu, karena pemilu sering juga disebut “pesta rakyat”. Sehingga tidak sedikit calon anggota Legislatif yang menghabiskan biaya yang besar. Untuk mencalonkan biasanya butuh dana maksimal 4M. Selain untuk biaya oprasional, dibutuhkan pula dana “blusukan”. Karena setiap kali blusukan, setidaknya calon “mengepalkan” uang layaknya cinderamata yang diberikan pada tamu undangan pernikahan sebagai kenang-kenangan pertemuan.
Persaingan ketat diantara calon, memungkinkan terjadinya perilaku saling menjatuhkan. Perilaku ini jelas bertentangan dengan norma agama ataupun pancasila. Berbagai cara akan dilakukan para calon pemilu. Maklum, dikarenakan biaya yang mahal, mereka akan bekerja ekstra agar tidak merugi. Namun apapun alasannya prilaku menyikut dengan bathil adalah perbuatan tercela. Ada calon yang rela membayar mahal oknum penjahat media, dan memanfaatkan situasi. Mereka akan membuat hoax untuk dikonsumsi masyarakat banyak.
Jelas sekali perbuatan ugal-ugalan seperti ini adalah perilaku politisi tak beretika. Atau istilah yang sering kita dengar akhir-akhir ini adalah sontoloyo. Perilaku sontoloyo ini bukan karena kebodohan bukan juga karena kemiskinan. Tapi ini soal eksistensi dan harga diri. Politisi sontoloyo akan ber kamuflase menjadi politisi baik untuk memanipulasi rakyat. Tujuannya adalah agar mendapatkan zona aman, yaitu kursi di pemerintahan.
Setelah zona aman didapatkan, baru mereka akan buka topeng dan kembali kepada ke sontoloyoannya. Dan yang paling miris adalah perilaku tersebut disaksikan langsung oleh rakyat. Misalnya dipertontonkan di televisi bagaimana wakil rakyat tertidur saat rapat. Sehingga membuat asumsi negatif dari masyarakat. Padahal, yang tertidur tersebut tidak lain dan tidak bukan karena dipilih oleh rakyat, walaupun secara subjektif hanya dipilih sebagian rakyat.
Rakyat menjadi pihak yang dirugikan. Apalagi akhir-akhir ini banyak sekali pihak pemerintahan yang tertangkap KPK karena kasus korupsi. Baik dari yang terbawah jabatannya seperti Kepala Desa sampai yang tertinggi seperti Menteri. Rakyat yang menyaksikan merasa sesak nafas, dalam artian menyesalkan perbuatan para penjahat rakyat tersebut. Ada juga sebagian yang marah dan ada juga sebagian yang bersedih. Dan sadar atau tidak penjahat itu juga dipilih oleh rakyat.
Kebanyakan orang mengkritik kesalahan pemerintah karena mereka melihat dari satu sudut pandang. Penyalahgunaan kekuasaan selalu menjadi otoritas yang dibicarakan. Memang tidak ada salahnya jika beraumsi seperti itu, karena memang kekuasaan adalah amanah dari rakyat kepada pemerintah untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Tapi ada hal yang di lupakan yaitu orang-orang yang ugal ugalan yang menyalahgunakan suaranya.
Baca juga:
Herbert Berg dan Verifikasi Otentisitas Hadis Dalam Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
Masyarakat ugal-ugalan ini bisa disebut dengan sebutan sontoloyers. Mereka adalah sebagian masyarakat yang mempengaruhi masyarakat lain untuk berbuat tindak kecurangan. Sontoloyers hidup ditengah tengah masyarakat dan berbaur dengan sekitarnya. Mereka juga kadang menempati posisi penting di masyarakat seperti tokoh masyarakat. Sontoloyers memanfaatkan posisi mereka untuk mengendalikan pikiran orang lain.
Yang membedakan antara sontoloyers dan orang berpengaruh lainnya adalah dalang dibalik mereka. Sontoloyers bergerak atas intruksi penjahat dibayar maupun tidak dibayar dan menimbulkan efek perpecahan dan saling menjatuhkan. Sedangkan kebalikannya adalah orang berpengaruh lainnya, biasanya menanamkan modal kebaikan dan kemaslahatan. Dari segi fungsi kita bisa meng klasifikasikan masyarakat yang ada disekitar kita. Apakah mereka termasuk golongan sontoloyers ataupun bukan.
Kasus ini secara nyata bisa kita saksikan di masyarakat. Penyebab dari semua tindak tercela masyarakat diantara lain adalah karena faktor ekonomi. Memang tak semua sontoloyers yang miskin, namun tetap saja mereka bisa tergiur dengan uang yang banyak. Dan parahnya situasi seperti ini memang menjadi momen indah mereka. Iming-iming uang, pakaian, sembako dan yang lainya menjadi strategi gila mereka.
Diantara stategi cerdas elit politik adalah menyuap rakyat menggunakan argumentasi manipulatif. Menyuap dengan cara halus dan tak tercium baunya. Seperti contoh memberikan uang kepada para pedagang di pedesaan yang hendak berangkat ke TPS. Dengan dalih membantu pedagang agar tetap mendapatkan uang walaupun tidak berdagang. Atau bisa di bahasakan menjadi ongkos ke TPS. Para pedagang tidak mungkin menolak, karena anggapan mereka ini adalah sesuatu yang benar bukan suap. Padahal ini adalah kasus penyuapan yang umum terjadi di masyarakat pedesaan. Di desain sedemikian rupa agar bisa diterima oleh masyarakat.
Seharusnya hal ini menjadi titik fokus para akademisi dan komponen masyarakat di Indonesia. Coba bayangkan apabila hal ini terus di biarkan. Maka yang akan terjadi adalah pemilu yang menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas. Serta masyarakat yang terpenjara dalam perangkap kebodohan. Rakyat Indonesia bukanlah tidak cerdas namun seringkali langkah mereka kurang tepat. Maka diperlukan komponen masyarakat sebagai pembawa kemaslahatan umat dalam koridor pemilu, yang dapat menuntun jalan masyarakat dalam berdemokrasi.
Untuk menciptakan pemilu yang berkualitas tidaklah mudah, perlu kesadaran dari masyarakat sendiri. Tapi keberhasilan pemilu juga bukan suatu hal yang mustahil diciptakan. Kita hanya perlu me
manage paradigma masyarakat akan pentingnya pemilu dan bahayanya perilaku suap menyuap. Didasari dari hati nurani paling dalam, membayangkan Indonesia dipimpin oleh orang-orang berkualitas sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Mulailah dari hal-hal kecil seperti membenci tindak suap menyuap.
Wallaahu a’lamu bi al-shawab.
* Departemen PTKP HMI Komisariat Iqbal
Sumber: Militan.co
0 Komentar